Dengan Disiplin & Kasih Meningkatkan Prestasi
Kisahku Menghadapi Vaksin Covid-19 (Part-1)
| Penulis: Ricardo Marpaung
Pandemi Covid-19 sampai juga di Indonesia situasi yang menakutkan karena banyak korban yang meninggal dunia. Bahkan di sepanjang tahun 2020 banyak keluarga yang berduka. Pemerintah Indonesia mulai mengadakan vaksinasi yang dimulai dengan memprioritaskan tenaga medis, TNI/Polri, dan tenaga pendidik (guru).
Pada tanggal 29 Maret 2021 saat itu kami para tenaga pendidik mendapat giliran untuk vaksin pertama. Namun hatiku tidak tenang. Hal ini bukan karena takut disuntik, tetapi justru takut ketika hendak dilakukan pengukuran tensi. Entah mengapa setiap hendak cek tensi aku merasa ketakutan yang luar biasa.
Untuk mempersiapkan diri agar tensi tidak tinggi, maka sehari sebelum pelaksanaan vaksin aku berolahraga lari 3 kali dalam seminggu. Ketika keesokan harinya akan vaksin aku merasa nyaman-nyaman saja.
Saya bersama teman guru bertemu di tempat pelaksanaan vaksin, yakni di Ciputra World II di Ambasador. Kami melakukan pengisian data sebelum cek tensi. Satu persatu dipanggil untuk masuk cek tensi.
Dengan penuh kepercayaan diri saya yakin dapat melalui pengukuran tekanan darah tersebut. Namun ketika petugas melekatkan alat tensi (digital) ke lenganku, bersamaan dengan itu detak jantungku berdetak kencang sekali sehingga saat itu hasilnya tinggi sekali, yakni 190/101. Saya diminta untuk istirahat kira-kira 15 menit untuk dapat diukur ulang. Setelah 15 menit diukur kembali, ternyata hasilnya tetap tinggi 192/102.
Saya mulai gugup dan tidak tenang yang semakin membuat detak jantung semakin kencang. Saat itu, ada seorang petugas yang mendekatiku dan mengukur kembali dengan alat tensi manual. Hasilnya tetap saja tinggi. Dengan ramah dia mengajakku ngobrol dan bertanya, apakah yang membuatku begitu gugup saat dilakukan pengukuran tensi.
Aku pun bercerita bahwa aku punya trauma masa lalu dengan alat yang namanya tensimeter. Saat tahun 1985 pernah ikut tes masuk TNI AL dan gagal gara-gara tensi. Saat itu aku bekerja pada sebuah perusahaan swasta mendapat giliran kerja shift malam dan paginya tes. Aku memang kurang tidur serta ada perasaan takut saat melihat suasana tes saat itu (suara-suara yang keras dari para petugas) agar peserta calon Bintara untuk bergerak cepat dan tanggap.
Mungkin karena suasana ini baru pertama kali kuhadapi sehingga terasa menakutkan dan membuatku gelisah. Hasil pengukuran tensi tinggi saat itu, 150/90 sementara yang diterima 120/80. Padahal aku sangat rajin berolahraga untuk menjaga stamina tubuh. Kegagalan itu membuatku selalu ketakutan setiap kali hendak cek tensi.
Mungkin buat sebagian orang hal ini aneh dan jadi bahan tertawaan, “kok sama alat tensi saja takut”. Tapi itulah kenyataan yang kualami. Gagal vaksin pertama sangat memukulku. Aku pulang dengan perasaan sedih dan kecewa. Petugas memintaku untuk datang kembali minggu depan.
Sebelum pulang dokter mengukur tensi secara manual. Dia memegang pergelangan tanganku untuk meraba detak nadi. Dan beliau berkata bahwa detak nadiku tidak normal karena sangat kencang. Sarannya, agar cek rekam jantung di rumah sakit. Hal ini yang membuat pikiranku semakin kacau. Setelah sampai di rumah, kuceritakan semua kepada istri dan anak-anak. Mereka memberikan semangat dan tidak takut mencoba lagi.
Setelah kejadian itu, aku mulai susah tidur dan sering terbangun tengah malam dan tidak bisa tidur lagi sampai pagi. Mulai hari itu, aku sudah merasa badan tidak fit karena perut mual dan kepala mulai terasa pusing serta detak jantungku tidak normal karena terasa kencang sekali.
Di hari berikutnya setelah malam kedua sejak gagal vaksin itu, aku merasa khawatir karena susah tidur, jantungku terus berdetak kencang. Keesokan pagi sebelum berangkat kerja, aku sudah merasa cemas sekali. Istriku menyarankan agar tidak bekerja dan mengajak ke rumah sakit untuk cek kesehatan.
Namun aku bersikeras untuk tetap pergi bekerja, aku sengaja membawa alat ukur tensi digital kalau-kalau diperlukan serta membawa obat tensi. Akan tetapi, di tempat kerja, tepatnya saat itu hari Jumat, aku merasa takut sekali karena kepala pusing sekali dan perut tidak nyaman. Akhirnya, aku mencoba mengukur tensi, hasilnya tinggi sekali yakni 190/95.
Hasil itu membuatku berpikir tidak rasional lagi, aku takut kalau tiba-tiba stroke. Aku segera menelpon keluarga untuk menjemputku karena aku sudah begitu takut dan cemas. Aku dijemput anakku, sesampai di rumah segera mandi dan berangkat ke rumah sakit yang tidak jauh dari tempat tinggal kami.
Sesampainya di rumah sakit aku langsung diukur tensi, hasilnya cukup tinggi yakni, 201/101, kemudian langsung diperiksa dokter. Dokter mengatakan bahwa aku harus rekam jantung. Aku jadi teringat kata-kata dokter saat di Ciputra World II di Ambasador untuk cek rekam jantung.
Rekam jantung dilaksanakan, tapi aku dan istri tidak tahu hasilnya. Aku cuma berkata ke dokter tersebut bahwa aku merasa cemas, karena detak jantungku sangat kencang sekali. Dokter pun memberikan obat penurun tensi dan obat penetral detak jantung. Obat itu, ada yang diminum tapi ada juga yang hanya diletakkan di belakang lidah. Setelah 30 menit, kembali cek tensi. Hasilnya turun menjadi 160/90.
Dokter memintaku untuk dirawat malam itu agar bisa dikontrol, namun aku tidak mau. Kami pun pulang dengan berbekal obat dari rumah sakit tersebut. Oh… iya sebelumnya aku ditanyakan dokter, asal muasalnya kok bisa terjadi demikian. Aku ceritakan semua yang berawal dari gagalnya divaksin serta trauma yang pernah ku alami.
Dokter berkata, “kalau bapak trauma setiap hendak tensi maka sebaiknya bapak tidak usah divaksin tetapi harus tetap menjaga kesehatan dan mematuhi protokol kesehatan”. Oleh karena itu, aku pasrah kemungkinan tidak untuk divaksin, meskipun keinginan untuk divaksin tetap ada. Sudah pasti, aku tidak hadir untuk vaksin ulang.
Hari-hari berlalu, aku merasakan keadaan kesehatanku mulai terganggu. Setiap bangun tidur kepala pusing, seakan hilang keseimbangan badan, perut merasa nyeri dan maunya tiduran saja. Setiap malam selalu gelisah, tidak bisa cepat tidur, dan selalu terbangun tengah malam kira-kira pukul 02.00 setelah itu tidak bisa tidur lagi. Dan sering meraba denyut nadi di pergelangan tangan dan terasa begitu tidak teratur, terkadang tiba-tiba kencang yang membuat aku gelisah. Aku tetap semangat untuk sehat, terutama dukungan dari istri dan anak-anakku. Namun demikian, rasa ketakutanku tetap tidak bisa hilang.
Di awal bulan Maret 2021, istri menyarankan untuk konsultasi dengan dokter psikiater. Kami pun pergi ke rumah sakit untuk konsultasi dengan dokter psikiater. Sebelum bertemu dengan dokter, aku diukur tensi terlebih dahulu oleh perawat. Hasilnya cukup tinggi dengan detak jantung yang begitu kencang, 190/98. Setelah itu, kami masuk ke dalam ruangan dokter psikiater tersebut. Kemudian dokter menanyakan keadaan yang kurasakan. Maka aku ceritakan semua yang kualami. Dokter mengukur tensiku kembali, ada penurunan yakni menjadi 162/90. Banyak yang ditanyakan, sampai trauma yang pernah kualami. Aku mengatakan bahwa sangat sukar tidur malam, sering terbangun tengah malam dan kemudian tidak bisa tidur lagi sampai pagi.
Dokter memberikan obat yang membuat tidur. Selain itu, ada bermacam obat lainnya, termasuk juga obat tensi. Hari-hari kulalui, meskipun aku sudah mulai bisa tidur lebih awal, namun rasa pusing dan tidak enak badan tetap kurasakan saat bangun pagi. Aku tetap berusaha untuk sembuh dengan semangat yang tinggi karena dorongan dari keluarga. Tapi yang lebih penting aku berserah kepada Tuhan Yesus, melalui doa-doaku juga keluarga dan teman-temanku.
Kesempatan untuk vaksin pun datang, tempatnya di sentra suatu sekolah yang kebetulan dekat tempatku bekerja. Tepat tanggal 7 April 2021 pelaksanaan vaksin, dan aku ikut untuk mencoba bersama teman-teman lainnya yang belum vaksin. Namun sangat disayangkan ketika aku ukur tensi, tetap tinggi yakni 190/96, istirahat lagi 15 menit. Ketika diulang untuk ukur tensi, eh… malah semakin naik menjadi 201/98.
Yah… sudahlah aku pikir bahwa benar jangan pernah berharap lagi untuk bisa divaksin, meskipun petugas menyarankan untuk datang lagi minggu depan. Dengan rasa kecewa lagi aku harus pulang dengan kegagalan divaksin. Dan semua ini hanya bisa kuceritakan kepada keluargaku. Dan istriku berkata: sudahlah pa, nggak usah divaksin. Karena keluarga melihat kegagalan divaksin itu yang membuat aku semakin terpuruk.
Tepat 19 Mei 2021, aku merayakan ulang tahun bersama keluarga dan adik-adik, ipar-iparku dengan harapan membuatku berbahagia. Namun terpaksa di saat acara itu aku tidak lanjut karena kepala terasa pusing, kalau berdiri terasa hilang keseimbangan dan harus istirahat. (bersambung…)
***
Bionarasi
Drs. Ricardo Marpaung, M.Pd. Kepala Sekolah SMA Kristen Kalam Kudus 2 Jakarta.