Cerpen | Duritan

| Penulis: Agnes Julianti Halim

Setelah berminggu–minggu mengerjakan proyek yang begitu penting, akhirnya aku mempunyai kesempatan untuk melihat pemandangan di luar rumah. Namun, pagi ini suasana hutan Blackhole tampaknya berbeda dari yang lain. 

Kumbang–kumbang keramat tidak ada yang menampakkan batang hidungnya. Lebah–lebah penyengat pun hampir tidak terlihat sama sekali. Karena begitu penasaran, aku mencoba memeriksa beberapa rumah lebah yang berada di sekitarku. Dan ternyata memang kosong. 

Tidak cukup sampai disitu, kali ini aku memeriksa Taman Bunga Lawang di belakang rumah. Hanya untuk memastikan mereka ada di situ. Dan ternyata usahaku sia–sia saja. Bahkan tak seekor kupu–kupu pun terlihat di sini. “Kemana mereka pergi?”

Karena terlihat begitu kebingungan, seekor tupai melompat ke pundakku. Dia menyunggingkan senyuman dan bertanya, “Apa kabar, Duritan?”

“Sana pergi! Tak ada hubungannya denganmu!”

“Oh, ya? Pasti sedang mencari sesuatu.”

“Mau tahu saja! Sana pergi! Hush!”

“Kau yakin tidak mau bertanya?”

“Ehm.”

“Oke, Oke, aku pergi. Tapi, jangan menyesal nanti, ya. Ok!”

Tanpa basa–basi, Biak (tupai) pun turun dari pundak Duritan. Tetapi, ia tidak berlari menuju rumahnya, ia hanya berjalan pelan ke arah hutan. Dengan harapan, Duritan akan memanggilnya. Nampaknya, Biak sudah menunggu waktu yang tepat untuk bersenda gurau dengan Duritan, sejak sahabatnya itu memutuskan untuk mengurung diri di rumahnya. Namun, sudah memasuki hutan, Duritan tak kunjung memanggilnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk bersandar di bawah pohon dan mulai memutar otak.

“Aduh, ada apa dengan Duritan hari ini? Nampaknya setelah mengurung diri berminggu–minggu, ia berubah menjadi manusia pemarah.”

Ternyata keluhannya terdengar sampai ke telinga macan tutul tua yang sedang tertidur di atas pohon. Melihat si tupai yang imut ini, ia hanya bisa tersenyum geli. Sepertinya si tupai tak sadar kalau di atas kepalanya ada binatang buas. 

“Hei, anak muda!”

Biak (tupai) yang sedang melamun mendadak terkejut. Dia mencari suara itu ke kanan dan ke kiri, dia yakin tidak ada siapa pun di situ selain dirinya sendiri. Dan suara itu berasal dari mana?

“Hei, anak muda! Sebentar lagi malam segera tiba, sebaiknya kau pulang ke rumah! Binatang buas akan bermunculan sebentar lagi! CEPAT PULANG!”

Kali ini seluruh badan biak berdiri kaku dan merinding ketakutan. Wajahnya pucat pasi. Dia menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak ada siapapun. Ataukah pohon ini berbicara kepadanya? Ataukah ada hantu yang bersamanya dari tadi? 

Secepat kilat dia melompat untuk kembali ke rumahnya. Yang ada dipikirannya hanyalah, alangkah tidak lucu jika tupai tampan seperti dia dimangsa binatang buas. Pasti jika berita itu sampai ke penjuru hutan, ia akan mengalami kematian yang memalukan.

Sementara di sebuah rumah pohon yang megah itu, Duritan masih kebingungan karena binatang–binatang yang ia sayangi tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Padahal sebentar lagi malam akan tiba.

Dia terduduk lesu seharian di luar rumah. Bahkan roti dan susu yang sudah ia persiapkan dari pagi pun, dia biarkan begitu saja. Dan ketika tahu binatang–binatang kesayangannya tidak kembali, ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah pohonnya. Ternyata hal itu menarik perhatian seekor laba–laba tua yang sedang sibuk memintal dan menjahit di ruangan tengah. 

Laba – laba tua yang bernama Kala ini sudah menjadi pengasuhnya sejak kedua orangtuanya meninggal. Sesekali teman–temannya yang tinggal di kota membawakannya beberapa benang yang sangat banyak, sehingga Duritan tak perlu membeli baju di kota. 

Oh, ya, bukan hanya itu, Duritan juga tinggal bersama seekor beruang besar yang hobinya menyiram tanaman. Beruang itu bernama Nala.

“Hei, anak muda! Mengapa wajahmu seperti itu? Seharusnya kau senang, hari ini aku memperbolehkan seorang profesor hebat ini keluar untuk menikmati pemandangan.”

“Entahlah. Aku heran, mengapa pemandangan yang dulu tidak lagi kutemukan. Binatang–binatang yang tiap pagi selalu sibuk membangun rumah madunya tidak nampak. Bahkan kupu–kupu tak satu pun yang menampakkan batang hidungnya.” 

“Mungkin mereka sibuk mencari makanan di hutan yang lain. Kau pasti tahu kalau hutan di sini tidak hanya satu.”

“Huft, teganya mereka meninggalkan aku.”

Nala yang baru saja keluar dari dapur menepuk pundak Duritan, “Hei, anak muda, buburmu sudah ada di kamar. Mungkin kau kelelahan, istirahat sana.”

“Ehm.”

Melihat Duritan berjalan dengan malas menuju kamarnya, Nala tersenyum kepada Kala, “Anak itu memang tidak berubah, ya? Masih saja manja.”

“Ingat, jangan katakan apapun, ya. Mengerti?”

“Sejak kapan aku tidak bisa menjaga rahasia, Kal. Sudah, ah, aku mau kembali ke dapur.”

“Hei, kue pesananku mana?”

Tiba – tiba Biak (tupai) memperlihatkan wajahnya di jendela. Dengan tersenyum ia melompat masuk ke rumah itu.

“Hei, kemana saja gerangan? Jam segini baru muncul, hah?”

“Biasa lah, lingkunganku ‘kan bukan hanya di depan rumahmu saja.”

“Jangan sombong, kau, Biak. Nanti nasibmu sama seperti binatang – binatang di depan rumah kami.”

“Ehm, rasanya mereka yang begitu bodoh dan dapat ditipu. Ha ha ha ha. Kelihatannya sampai saat ini pun Duritan tidak menyadarinya, ya.”

“Biarkan saja. Aku juga tidak tahu, dia memang benar – benar tak ingat apapun atau hanya bersandiwara?”

“Hei, Nenek tua, bukankah kau yang mengurungnya di rumah ini? Sesudah ia mengurung dirinya di rumah ini, dia seperti orang linglung.”

“Sebaiknya aku memeriksa kue – kue di dapurku.”

Rupanya Kala dan Biak masih bercakap–cakap di lantai bawah, sementara Duritan juga sudah beristirahat di kamarnya. Nala juga sedang sibuk di dapur dengan kue–kuenya. Tidak lama kemudian dia membawa kue dan susu hangat yang disuguhkan di atas meja. 

“Sebaiknya apapun yang Duritan tak tahu biarlah dia tak perlu tahu. Aku takut jika ia tahu, ia malah merasa bersalah.”

“Hei, apakah kau sudah pasti membuat Duritan tertidur?”

“Beres. Anak itu sudah tidur sejak tadi.”

“Baguslah.”

“Apakah ratu lebah juga tahu hal ini? Jangan sampai kita yang terkena sasaran.”

“Apa yang sebetulnya kau takutkan, Biak. Walau bagaimanapun mereka tidak akan pernah lepas dari hukum lingkaran makanan, bukan? Baiklah, jangan berpikir kita selicik itu, tetapi ini semua diluar nalar kita. Coba saja jika penyihir itu tidak tinggal di hutan ini, kita pasti tidak akan hidup seperti ini. 

Bayangkan saja, mana ada binatang bisa bicara. Memangnya kau hidup di dunia dongeng. Maka, selama kita bisa menutup mulut, pasti tidak akan terjadi apapun yang menimpa kita.”

“Apakah kau tahu, Biak, rumah lebah itu sudah lama dikosongkan. Itu artinya ratu lebah pun tidak bisa berbuat apa – apa. Mungkin saja, ia juga jadi tawanan penyihir gelap itu”. 

“Hei, Nenek tua, Beruang besar, kalian harus memastikan bahwa Duritan benar – benar tak tahu akan hal ini, ok.”

“Beres. Lagipula selama ini siapa yang mengasuhnya seperti anak sendiri. Aku agak sedikit kesal memang dengan penyihir murahan itu. Tapi, terpaksa kulakukan untuk memperpanjang umurku.”

“Aku justru yang harus berterima kasih padamu, Ka, kalau tidak ada kau mungkin aku sudah mati oleh penyihir murahan itu. Untung saja kau memberiku ramuan itu dan merubahku menjadi beruang.”

“Yang penting sekarang jangan sampai seorang anak membunuh ibunya sendiri, walau bagaimana pun caranya. Oh, iya, aku lupa, kalau kalian memerlukan buah itu lagi beritahu aku, Ok! Kalau tidak, umur Duritan tidak akan panjang. Selama ini penyihir murahan itu hanya tahu anaknya pasti sudah mati setelah ia membuangnya untuk dimakan buaya.”

Mendengar itu Nala hanya terduduk lesu, ia bahkan tak tahu harus hidup seperti apa jika tak ada kedua sahabatnya, Kala dan Biak. Selama ini ia mengasuh Duritan tanpa memberitahukan apapun tentang masa lalu anaknya itu. Yang pasti, ia juga tak ingin Duritan tumbuh dengan mengingat penderitaan yang pernah dilakukan oleh ibunya dulu. Ia hanya bisa menutup rapat semua pintu masa lalu anaknya. 

Berbeda sekali dengan Biak, dia sebenarnya sudah merasa bahwa hal ini tidak pantas untuk disembunyikan dan harus ditumpas tuntas demi kedamaian hutan. Kehidupan hutan ini sudah lama dipenuhi kegelapan semenjak penyihir itu datang dan tinggal di Gua Pasu di kedalaman hutan. 

Dia justru berharap, lebih cepat penyihir itu wafat, semakin baik. Namun, jika membayangkan perlakukan Kala dan Nala selama ini kepadanya, ia juga tak kuasa untuk membocorkan hal ini kepada Duritan.

Kehidupan baru ini justru akan membuat Duritan tumbuh menjadi orang yang lebih baik daripada ibunya. Sang penyihir gila yang selalu menawarkan buah longan kepada binatang–binatang hutan yang tak berdaya untuk dijadikan ramuan kecantikannya. 

Daripada ia harus tahu Duritan masih hidup, tindakan ini sudah benar. Dan dimana Duritan? Di dalam petinya. Ia akan tertidur selama beberapa tahun kemudian dan akan dipersiapkan menjadi penguasa hutan yang akan menaklukkan penyihir gila yang tak lain adalah ibunya sendiri.

Sumber gambar: pixabay.com

***

Bionarasi

Agnes Julianti Halim, dilahirkan di Ungaran pada 21 Juli 1990. Tahun 2021 Menulis dan menerbitkan novel berjudul ikatan. Guru Musik SMP & SMA Kristen Kalam Kudus Kosambi Baru. Guru Les Vokal 
IG:  @agnesjuliantihalim.210790 | FB: Halim J Agnes

Visited 7 times, 1 visit(s) today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *